Harapan Kaum Marginal Pasca Pemilu 2014
Oleh: Andi Siregar (Jurnalis di salahsatu harian terbitan Medan )
Siang itu Dedi Laoli, 29 tahun, sibuk menjajakan dagangannya
kepada pengendara yang berhenti di bawah lampu merah di perempatan jalan Balai
Kota-Medan. Ia mengenakan kaos putih lengan panjang dibalut kemeja hitam.
Keringat bercucuran di wajahnya. Tiap kali lampu merah menyala, ia bergegas
mendatangi pengendara untuk menawarkan rokok batangan dan air mineral yang
dijinjing di kardusnya.
Di masa kampanye ini, tiap hari dia menyaksikan konvoi partai
politik dan calon legislator melintas di dekatnya. Dedi justru bersikap acuh
tak acuh, bukanya antipati, di benak Dedi hanya satu, dagangannya laris-manis.

Pria bertopi hitam itu menambahkan, kendala lain dalam pemilu
2014, adalah belum mengenal secara dekat sosok calon legislator yang peduli
dengan kaum yang terpinggirkan. “Sejauh yang kita lihat dan dengar, para elit politik
umumnya menjanjikan perubahan alias pro-rakyat,” ujarnya.
Menurut Dedi, yang dilakukan para elit politik merupakan hal
yang wajar untuk menggaet hati masyarakat demi mendulang suara di Pemilu 2014. “Janji
politik merupakan teori yang sifatnya abstrak. Namun kita masyarakat kecil
hendaknya jangan dipermaikan. Harapan kita janji politik itu dapat
diwujudnyatakan pasca Pemilu 2014,” tutur Dedi.
Bertengger di bawah lampu merah, sebenarnya bertentangan dengan
nurani Dedi. Pasalnya Tahun 2012 silam, pria mata sipit itu menamatkan
kuliahnya di jenjang Diploma (D-III) Komputer. Namun dengan keterbatasan
lowongan kerja, beliau dan keluarganya harus berani menantang kerasnya hidup di
ibu kota.
Menekuni penjualan rokok batangan di bawah lampu merah, memang
tidak menjanjikan hidup yang berkecukupan buat keluarga Dedi. Tidak heran,
selain menjajakan rokok batangan, ayah dua anak itu masih berhayal akan
mendapatkan pekerjaan layak yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dia peroleh.
Setiap hari, Dedi hanya mendapat penghasilan sekitar 40 sampai
75 ribu rupiah. Cukup tidaknya penghasilan itu, dia nikmati dengan lapang dada.
“Setiap hari yang saya dapat sekitar 40 ribu rupiah. Pun demikian, terkadang
rejeki yang saya dapat bisa sampai 65 ribu rupiah,” ujar Dedi sambil menjajakan
dagangannya.
Menjalani kehidupan yang terbilang sulit, Dedi tidak
mengharapkan para caleg untuk menemuinya dan mengiminginya sejumlah duit
ataupun sejenisnya. “Pasca Pemilu 2014 nanti, Harapan kami tidak muluk-muluk
yakni adanya perubahan yang berarti bagi keluarga begitu juga rekan kami yang
lain yang masih bejuang menantang hidup di ibu kota. “Ketersedian lapangan
kerja yang diperjuangkan elit politik, menurut kami sudah melebihi uang yang
diberikan kepada konstituennya,” jelasnya Dedi.

Meski tidak pernah melewatkan Pemilu, warga yang tinggal di
Jalan Kapten Muslim-Medan itu, berharap siapapun yang menang di Pemilu 2014,
hendaknya bekerja dengan bagus serta memperhatikan masyarakat kaum miskin. “Sediakan
lapangan kerja dan percepat pengurusan akte kependudukan. Jangan waktu kampaye
kaum miskin diperalat sementara setelah terpilih kaum miskin ditinggalkan. Itu
tidak etis dan itu pembodohan publik,” tuturnya. (***)
foto andi siregar
Foto I: Dedi Laoli menjajakan rokok batangan dan air mineral di
bawah lampu merah komplek Lapangan Merdeka Medan.
Foto II: A. Br Saragi menerima upah mengatur parkiran di Jalan
Pulo Pinang-Medan